Archive for January, 2009

Beasiswa BEM FISIP 2008

BEASISWA BEM FISIP UI 2008 (akademik)

PERSYARATAN

1. Mahasiswa D3 Angkatan 2007 & 2008

2. Memiliki IPK minimal 2,75

3. Aktif dalam organisasi dalam dan luar UI

KELENGKAPAN

1. Mengisi formulir yang tersedia*

2. Melampirkan surat keterangan tidak mampu dari Kelurahan

3. Slip Gaji terakhir orang tua

4. Transkip nilai

5. Foto (3 x 4 ) sebanyak 3 lembar

6. Fotokopi KTM sebanyak 3 lembar

7. Fotokopi buku tabungan atas nama pribadi

8. Melampirkan CV

9. Melampirkan sertifikat/ Surat keterangan yang menunjukan keaktifan dalam

organisasi

10. Surat rekomendasi dari Ka. Jurusan D3 atau Ketua organisasi yang diikuti

11. Melampirkan fotokopi FRS

BEASISWA BEM FISIP UI 2008 (non akademik)

PERSYARATAN

1. Mahasiswa S1 reguler dan non reguler, serta D3; angkatan 2006,2007, dan 2008

2. Memiliki IPK minimal 2,75

3. Memiliki prestasi dalam bidang olahraga atau seni minimal tingkat UI dalam

waktu 3 tahun terakhir

KELENGKAPAN

1. Mengisi formulir yang tersedia*

2. Melampirkan sertifikat yang berhubungan dengan prestasi yang dimiliki tersebut

3. Transkip nilai

4. Foto (3 x 4) sebanyak 3 lembar

5. Fotokopi KTM sebanyak 3 lembar

6. Fotokopi buku tabungan atas nama pribadi

7. Melampirkan fotokopi FRS

Berkas dikumpulkan paling lambat tanggal 12 februari 2009 ke Contact Person, dengan memberikan kode di bagian kanan atas amplop, A untuk beasiswa akademik, B untuk non akademik bidang olahraga, dan C untuk non akademik bidang seni.

CP: Input 94953411

Siti 96261160 Read the rest of this entry »

Leave a comment »

Mencari yang Hilang dari Dunia Pendidikan dan Kita

Oleh: Pandu Utama Manggala[1]

Biarkan dunia merubahmu,

Maka engkau akan mampu merubah dunia!”

-Ernesto “Che” Guevara

Dalam Motorcycle Diaries

Tulisan ini bukanlah tulisan yang akan membuat penat kepala kita dengan beragam masalah yang ada di dunia pendidikan Indonesia. Tenang saja, tulisan ini sekedar upaya berbagi, supaya kita semua tidak kehilangan salah satu kemampuan distingtif kita sebagai manusia: refleksi. Ya benar, refleksi lebih dalam untuk menyelami realitas dunia, sebagai prasyarat untuk lahirnya sesuatu yang berarti, sebagaimana yang diungkapkan Che diatas.

Pertanyaan kritis kemudian pantas diajukan ke dalam diri kita, “Benarkah kita, mahasiswa telah memahami realitas dunia? Atau setidaknya realitas yang ada di sekitar kita?” Kita memang belajar tentang “realitas” melalui berita dan berbagai dokumen. Tetapi, mari berpikir ulang: benarkah itu “realitas”? Untuk memahami realitas itu pun, kita hanya fasih mengeja nama-nama yang tidak pernah lahir di sekitar kita (Misal Karl Marx, Michael Foucault, Derrida, dll –patut dicatat juga kalau hal ini bukan berarti saya xenophobia ya)

Baiklah, mari berdiskusi lebih tajam lagi. Kita sebagai mahasiswa (atau lebih tepatnya aktivis pergerakan mahasiswa??) sering mengutuk sistem ekonomi politik dunia yang tidak adil saat ini dan turut meratapi nasib negeri kita yang malang ini. Kita juga sering merayakan kemiskinan dengan cara mengutip data-data memprihatinkan itu dalam tumpukan kertas yang kita kumpulkan dalam beragam tugas dan ujian. Setelah itu, apa yang terjadi? Sering kali kemiskinan yang kita kutip tersebut pun hilang dari kepala kita. Selesai.

Seorang filsuf pendidikan, Paulo Freire, menyatakan bahwa pendidikan harus melibatkan tiga unsur: guru, murid (dalam relasi yang setara) dan “realitas dunia”. Tanpa itu, pendidikan hanya menghasilkan orang-orang yang diproduksi oleh pendidikan sebagai pengidola dirinya sendiri: belajarlah yang benar untuk karirmu di masa yang akan datang.

Maka, saksikanlah bahwa ramai mahasiswa berkuliah untuk bekerja. Berkuliah untuk mengasingkan dirinya sendiri di menara gading bernama universitas, institut, atau akademi. Setelahnya, seperti kata Romo Magniz: “mereka menjadi penjajah bangsanya sendiri!” Untuk itulah, dalam menyingkapi bagaimana mahasiswa harus menjalankan peran sosialnya, terlebih dahulu harus dicari yang hilang dalam dunia pendidikan kita, yaitu; kemampuan untuk melihat “realitas dunia” yang ada di sekitar kita, dan untuk meraih hal tersebut kita pun terlebih dahulu harus dapat memahami nilai dasar dari pendidikan itu sendiri.

Realitas Dunia Pendidikan Kita dan Nilai Dasarnya

Pendidikan sebagaimana yang diketahui merupakan suatu jembatan untuk dapat menghasilkan sumber-sumber daya manusia suatu negara yang berkualitas, yang dapat mengangkat derajat negara tersebut. Pendidikan juga diperlukan untuk mengembangkan potensi peserta didik dalam berbagai dimensi kemanusiaannya karena esensi dari pendidikan itu sendiri adalah suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas kemanusiaan yang membudaya.

Departemen Pendidikan Nasional sebagai suatu departemen pemerintahan yang mengurusi bidang pendidikan di Indonesia seharusnya bisa memainkan perannya sebagaimana yang diungkapkan di atas, dengan menjadikan pendidikan di Indonesia sebagai sarana untuk mengembangkan SDM-SDM di Indonesia dari dimensi kemanusiaannya dan menjadikan pendidikan itu sebagai suatu proses untuk dapat menghasilkan SDM Indonesia yang berkualitas. Namun yang terlihat dalam pelaksanaannya, pendidikan sebagai suatu proses diabaikan dan hanya bertumpu pada pola pendidikan yang lebih menekankan sebagai capaian akademis semata. Sehingga hal itu menimbulkan suatu tradisi kurang berpikir dari masyarakat Indonesia dimana bangsa ini lebih suka untuk mendapatkan jawaban daripada pertanyaan. Padahal sebenarnya menurut Jacques Rolland, seorang filsuf, bertanya merupakan latihan dari berpikir yang dapat membuat suatu bangsa maju. Kita saksikan di Indonesia, ramai-ramai siswa mendatangi bimbingan-bimbingan belajar dan membeli buku kumpulan soal dan jawaban semasa persiapan ujian nasional ataupun SPMB. Bangsa ini kemudian menganggap kebenaran dan jalan kebenaran hanya satu, tidak dipersoalkan lagi.

Lebih lanjut, sebagai sarana pembangunan sumber daya manusia yang utama, pendidikan memiliki posisi yang sangat penting terhadap kehidupan di masyarakat. Tak bisa dipungkiri, pembangunan pendidikan menjadi sebuah hal yang sangat penting dalam rangka meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia. Berbagai cara dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dalam sebuah sekolah, mulai dari merubah kurikulum, mendapatkan pengajar-pengajar yang kompeten, dan mencari investor-investor dalam rangka membantu sekolah secara finansial.

Hal-hal semacam itu menjadi pro dan kontra tersendiri dalam sistem pendidikan di negara Indonesia. Dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 31 disebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran”. Hal tersebut berarti Pemerintah harus bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan terhadap masyarakat Indonesia.

Permasalahan yang kemudian muncul adalah tidak sinkronnya antarprogram pendidikan nasional dimana hal ini berakibat menambah beban masyarakat. Munculnya RUU Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) akan menjadikan sektor pendidikan di-privatisasi, dan ini tentunya akan semakin memperlemah peran negara di dalam menghasilkan kualitas SDM yang baik. Berangkat dari pernyataan Foucault akan “Knowledge-Power Relations” dimana pengetahuan yang lebih akan sesuatu akan mendatangkan kuasa bagi yang memilikinya, seharusnya pemerintah dalam hal ini Depdiknas harus dapat melihat hal tersebut dan kemudian membangun suatu sarana pendidikan yang memadai bagi rakyat Indonesia, terutama dengan menguatkan civic education demi menancapkan nilai-nilai keindonesiaan. Ya, inilah yang mesti kita kuatkan terlebih dahulu untuk membangun kembali dunia pendidikan Indonesia, “pencarian terhadap realitas dunia dan penanaman nilai dasar keindonesiaan!”

Lalu, selanjutnya bagaimana?

Yah, tentu langkah awalnya kembali kepada diri kita sendiri. Tanyakan ke dalam diri kalian beberapa pertanyaan ini; Untuk apa kita belajar di kuliah? ( bisa dijawab dengan logika apapun yang kita gunakan, logic of consequences atau logic of appropriateness atau bahkan bukan logika sekalipun), apa yang menjadi ruh, yang menjiwai apa yang kita lakukan? Terakhir, apa yang akan kita lakukan?

Tentu saja, realitas pun punya beragam versi narasi. Maka jawaban kita pun tak salah jika berwarna-warni.


[1] Penulis adalah mahasiswa ilmu hubungan internasional UI angkatan 2005 dengan konsentrasi isu ekonomi politik internasional dan studi kebijakan luar negeri. Saat ini mengemban amanah sebagai Ketua Umum BEM FISIP UI 2008, Direktur Hubungan Internasional SYNDROME (Syndicate for Indonesia Transformation), dan penggiat Komunitas Alternatif FISIP UI. Bisa dikontak di 0818108297 atau email ke p4ndu_2@yahoo.com.

Leave a comment »

Membaca Relasi Kuasa dan Pengetahuan dalam Privatisasi Air di Indonesia

Oleh: Pandu Utama Manggala

Pendahuluan

Pembangunan merupakan wacana yang penuh perdebatan, “question of development”, begitu Anna K. Dickson (1997) menyebutnya.[1] Dalam perkembangannya, praktik-praktik pembangunan memunculkan banyak kritik. Saat ini, dalam sebuah era mutakhir “pembangunanisme”, pembangunan menjadi suatu hal yang bersifat paradoks ketika melihat kesenjangan antara negara Dunia Ketiga dengan negara maju atau yang dikonstruksikan sebagai Barat. Dalam wacananya sebagai bagian dari wacana pembangunan yang mengemuka di abad 21 ini, privatisasi menimbulkan banyak kontroversi. Di kota Cochabamba, Bolivia, terjadi pergolakan menentang privatisasi air setelah perusahaan multinasional Bechtel dari Amerika Serikat mengambil alih sistem air di Cochabamba. Di Afrika Selatan, protes serupa juga dijalankan akibat penguasaan air oleh perusahaan multinasional asal Prancis, Suez Lyonnaise des Eaux.[2] Oleh karena itu, Rita Abrahamsen (1999) menyatakan bahwa pembangunan bukan hanya telah gagal, terutama dalam menghapus kemiskinan yang sangat luas, tapi teori pembangunan juga dianggap telah menemui kemacetan, terjebak dalam metanarasinya sendiri dan gagal memahami perbedaan-perbedaan di Dunia Ketiga dengan cara yang konstruktif dan relevan. [3]

Dewasa ini, privatisasi merupakan sebuah konsep yang sangat menantang. Pemikiran mengenai privatisasi ini, mengutip Edward Said, bukanlah sebuah konsep yang tiba-tiba ada; melainkan sebuah pemikiran yang semula lahir di masa pemerintahan Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher, yang kemudian diadopsi oleh lembaga keuangan global. Pada akhirnya, di awal dekade 1990-an lahirlah Washington Consensus yang merupakan paket-paket kebijakan ekonomi dan pembangunan paling mutakhir dari Bank Dunia dan IMF.

Dengan menggunakan analisis Michel Foucalt mengenai relasi antara kekuasaan dan pengetahuan, tulisan ini hendak menujukkan bahwa pengetahuan yang berkembang melalui wacana-wacana ekonomi dan pembangunan dewasa ini bukanlah sebuah konsep yang bebas nilai. Pemikiran privatisasi yang terkandung dalam Washington Consensus hanyalah salah satu metode yang digunakan oleh Barat untuk melanggengkan kekuasaannya.

Akar Pemikiran Privatisasi

Privatisasi diterapkan sebagai instrumen kebijakan perekonomian sejak tahun 1979 ketika PM Margareth Thatcher mulai menerapkan paham neoliberal dalam praktik perekonomian Inggris. Hal serupa juga dilakukan Ronald Reagan, Presiden Amerika Serikat, dalam periode yang hampir bersamaan. Perkembangan ini kemudian memunculkan istilah “Reaganomics” dan “Thatcherism” berkenaan dengan kesamaan pola kebijakan di kedua negara tersebut yang berdasar pada paham neoliberal. Berbeda dengan pandangan penganut Keynesian yang menekankan pentingnya peran negara dalam ekonomi makro, paham neoliberal yang merupakan akar ideologi dari diterapkannya pelaksanaan privatisasi ini berasumsi bahwa keterlibatan entitas negara dalam aktivitas perekonomian dapat menimbulkan distorsi terhadap pasar.[4] Berangkat dari asumsi ini, kontrol negara terhadap kinerja pasar domestik perlu dieliminasi secara menyeluruh. Minimalisasi peran negara dalam ekonomi yang dilakukan Thatcher, salah satunya terrefleksi dari diterapkannya kebijakan privatisasi perusahaan milik negara. Ketika direalisasikan, kebijakan ini dipandang berhasil diimplementasikan di Inggris. Kesuksesan ini menjadi titik tolak diadopsi dan diterapkannya paham neoliberal sebagai pedoman kebijakan di negara-negara kapitalis tahun 1970-an.

Dalam tahap perkembangannya, khususnya tahun 1980-an, bersamaan dengan krisis utang negara berkembang, neoliberal juga digunakan sebagai paradigma yang mendasari formulasi kebijakan badan-badan multilateral dunia seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan World Trade Organization (WTO). Adapun ide dasar yang dikembangkan oleh badan-badan multilateral dunia tersebut yaitu:[5] Pertama, diterapkannya pelaksanaan privatisasi dengan alasan efisiensi. Kedua, pemotongan seluruh pengeluaran publik khususnya anggaran yang dialokasikan bagi pelayanan sosial. Ketiga, deregulasi, dengan menghapus peraturan pemerintah yang dapat menghambat aktivitas pasar. Keempat, menerapkan aturan pasar dengan membebaskan swasta dari keterikatan yang dipaksakan pemerintah. Kelima, menghapus konsep barang publik dengan mengalihkan fungsi tanggung jawab tersebut kepada pasar.

Paham neoliberal ini menguat dengan dirumuskannya Washington Consensus untuk mengatasi krisis ekonomi di negara berkembang oleh IMF.[6] Washington Consensus muncul sebagai “kesepakatan” lembaga Bretton Woods, terutama IMF dan World Bank, dalam mengatasi problem pembangunan di berbagai negara dengan penekanan pada kebijakan pasar bebas, perdagangan bebas dan pengurangan peran sentral negara di sektor ekonomi dengan tujuan mengintegrasikan ekonomi domestik negara tersebut ke dalam sistem ekonomi global. Sepanjang tahun 1980-1990-an, Washington Consensus yang diimplementasikan melalui kebijakan Structural Adjustment Program (SAP) sangat dominan berkaitan dengan sumbangannya terhadap kebijakan pembangunan. Ada sepuluh gagasan utama dari paham ini di mana privatisasi, liberalisasi dan disiplin fiskal merupakan pilar utama untuk mendukung terlaksananya fungsi pasar secara efektif.[7] Berikut adalah fitur-fitur mendasar dari Washington Consensus menurut John Williamson:[8] (1) Disiplin di bidang fiskal. (2) Mengurangi segala alokasi dana pemerintah untuk publik, seperti kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur; dan dialihkan ke sektor yang lebih berorientasi profit. (3) Reformasi perpajakan. (4) Liberalisasi nilai suku bunga. (5) Penerapan nilai tukar yang kompetitif. (6) Liberalisasi perdagangan. (7) Liberalisasi PMA. (8 ) Privatisasi. (9) Deregulasi. (10) Jaminan kepemilikan publik.

Menurut Stephen Green (2003), privatisasi adalah praktik transfer hak kepemilikan dari negara kepada sektor swasta untuk mencapai beberapa tujuan seperti:[9] pertama, meningkatkan efisiensi perusahaan. Kedua, menstimulasi akses terhadap pasar. Ketiga, meminimalisir pelaksanaan korupsi dalam tata kelola perusahaan. Keempat, mengembalikan aset-aset negara yang disalahgunakan oleh oknum pejabat negara ketika mengelola aset tersebut. Melengkapi argumen Green, terdapat enam alasan yang dikemukakan kaum neoliberal terhadap dilangsungkannya privatisasi.[10] Pertama, mengurangi beban keuangan pemerintah. Kedua, meningkatkan efisiensi pengelolaan perusahaan. Ketiga, meningkatkan profesionalitas pengelolaan perusahaan. Keempat, mengurangi campur tangan birokrasi/pemerintah terhadap pengelolaan perusahaan. Kelima, mendukung pengembangan pasar modal dalam negeri. Keenam, sebagai flag-carrier (pembawa bendera) untuk go international.

Privatisasi merupakan salah satu “poin wajib” dari Washington Consensus, yang lebih menekankan pada peran penting sektor swasta dalam pengelolaan perekonomian, dan merupakan salah satu strategi pembangunan dan restrukturisasi ekonomi. Tren yang berkembang kemudian menunjukkan bahwa privatisasi merupakan keniscayaan yang selalu hadir dalam restrukturisasi ekonomi bersamaan dengan dikucurkannya paket bantuan internasional. Alasan fundamental perlunya kebijakan privatisasi adalah karena pengelolaan oleh sektor swasta memungkinkan efisiensi alokasi sumber daya guna maksimalisasi profit, dibandingkan pemerintah yang dalam tiap tindakannya cenderung diwarnai motif kepentingan politik dan hal lainnya yang dinilai tidak efisien.

Di Indonesia, privatisasi sudah dimulai di masa pemerintahan Orde Baru, akhir 1980-an. Privatisasi dimulai dengan memprivatisasi PT Telkom Indonesia, yang kemudian menjadi lebih masif ketika IMF masuk ke Indonesia tahun 1998. Di berbagai Letter of Intent Indonesia dengan IMF, pemerintah diinstruksikan untuk memprivatisasi beberapa BUMN.[11] Krisis ekonomi yang dialami Indonesia di tahun 1997 mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi karena minimnya anggaran yang tersedia untuk menyediakan layanan publik. Proses pengalihan kepemilikan ini menjadi semacam “simple way out” bagi solusi krisis, padahal mempunyai dampak jangka panjang.

Privatisasi Air di Indonesia

Ketika Presiden RI, Soeharto, turun pada 21 Mei 1998, kota Jakarta layaknya sebuah area perang. Lebih dari 2500 orang meninggal akibat bentrok dengan aparat dan kebakaran yang terjadi dimana-mana meluluhlantakkan Jakarta. Dalam kerusuhan tersebut berhembus isu nasionalisasi, di mana sentimen terhadap salah satu etnis di Indonesia dimunculkan ke permukaan. Isu tersebut membuat warga asing yang tinggal di Jakarta pindah atau untuk sementara terbang ke negara lain menunggu kerusuhan berakhir. Di antara orang asing yang pergi ke luar negeri dalam kerusuhan itu, terdapat 30 eksekutif dan anggota keluarga dari dua perusahaan multinasional, yakni Thames Water dan Suez Lyonnaise des Eaux. Empat bulan sebelumnya, perusahaan tersebut telah mengambil alih pengaturan air di Jakarta, berpartner dengan anak-anak Soeharto dan “kroni-kroninya.” Meski kepergian direktur perusahaan multinasional tersebut hanya sementara untuk menunggu berakhirnya kerusuhan, namun teknisi lokal yang berada di kantor kerja tidak tahu, bagaimana mereka harus mengendalikan sistem air yang telah dijalankan. Selain itu, kerusuhan menghambat pasokan zat-zat pemurni air seperti Chlorine atau Alumunium Sulphate. Keadaan tersebut memicu kelangkaan air di Jakarta dan penduduk terancam kekurangan air bersih. Kendalanya, petinggi Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya) tidak bisa berbuat apa-apa karena menurut direktur PAM Jaya sejak PAM Jaya diambil alih oleh dua perusahaan multinasional tersebut, kekuasaan atau otoritas legal dipegang oleh perusahaan multinasional tersebut. [12]

Privatisasi air di Indonesia adalah sebuah cermin dari bagaimana kepentingan dari korporasi air global, penguasa yang korup serta diktator dan pinjaman Bank Dunia menekan untuk dilakukannya privatisasi.[13] Sampai saat ini, sebagian besar rakyat miskin di Jakarta masih hidup tanpa jasa air yang layak. Privatisasi air di Indonesia ini awalnya terjadi pada awal 1990 ketika Bank Dunia menyetujui untuk menyediakan pinjaman US $ 92 juta untuk infrastruktur air. Privatisasi tersebut juga berlangsung dengan saran dari Bank Dunia. Secara umum, privatisasi di Indonesia dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah privatisasi sebelum krisis ekonomi 1997, dan privatisasi tahap kedua setelah krisis ekonomi dan masuknya IMF ke Indonesia.

Privatisasi tahap pertama berlangsung dengan pinjaman multilateral dari bank Dunia dan pinjaman bilateral dari Jepang, perusahaan multinasional asal Inggris dan Perancis, yakni Suez dan Thames, yang memulai untuk mengambil alih sistem air publik. Yang menarik, privatisasi ini melibatkan konglomerasi Indonesia atas nama PT Kekar Pola Airindo. Di belakang Kekar Pola Airindo, terdapat nama Salim Group, yakni Anthony Salim, dan Sigit Harjojudanto. Dua orang ini bisa dibilang sebagai “kroni” dari pemerintahan Soeharto, terutama melihat hubungan keluarga antara Soeharto dan Sigit, serta hubungan bisnis antara Soeharto dan Salim Group.[14]

Kehadiran Thames Water Overseas di Indonesia pertama kali pada tahun 1993. Perusahaan multinasional asal London ini menggandeng putra Soeharto, Sigit Harjojudanto, sebagai partnernya. Padahal, Sigit bukanlah seorang pemain yang mengerti benar pengelolaan air. Thames membentuk perusahaan lokal dan kemudian memberi Sigit 20 % dari keuntungan.[15] Mengutip pernyataan Teten Masduki, “Setiap perusahaan multinasional di Indonesia selalu bekerjasama dengan kroni Soeharto. Dari semua sektor, listrik, minyak, air, dan lainnya, merupakan bentuk oligarki korupsi. Perusahaan itu ingin mendapatkan perlindungan politik. Anak-anak Soeharto tersebut mendapatkan bagian tanpa menaruh investasi, hanya untuk pengaruh secara politik.”[16] Kemudian, terjadi konsesi atas pembagian kerjasama, Sigit bekerjasama dengan Thames membentuk Kekar Pola Airindo, sedang Salim Group dengan Suez membentuk PT Garuda Dipta Nusantara. Hal ini dilakukan karena hukum nasional saat itu melarang adanya investasi asing di bidang penyediaan air.

Ketika terjadi kerusuhan seperti tergambar pada ilustrasi di atas, petinggi Thames dan Suez mulai memikirkan kembali masa depan bisnis mereka di Indonesia. Karena telah terikat kontrak di awal selama 25 tahun, dua perusahaan multinasional itu memutuskan untuk terus beroperasi di Indonesia, namun kali ini privatisasi dilangsungkan langsung menggandeng PAM Jaya, karena menurunnya peran dari “kroni-kroni” Soeharto. Dengan negosiasi yang berlangsung dengan PAM, akhirnya Thames dan Suez merestrukturisasi manajemen mereka termasuk kerjasama dengan Kekar Pola dan Garuda Dipta. Pada tahun 2001, dibentuklah PT PAM Thames Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya, dengan menggandeng PT Terra Meta Phora dan PT Bangun Cipta Sarana. [17]

Tujuan awal privatisasi air adalah untuk menyediakan air bersih di Indonesia secara lebih luas. Indonesia, menurut catatan UNDP, memiliki 55 % penduduk yang rawan akan akses air bersih. Banyak penyebab mengapa persediaan air bersih di Indonesia menurun, pertama karena kerusakan sungai, kedua karena pencemaran air tanah, dan ketiga karena pencemaran sungai.[18] Di Jakarta, air bersih menjadi sebuah permasalahan karena banyak air yang telah tercemar polutan atau bakteri tanah. Padahal, air adalah sumber daya alam yang sangat penting nilainya bagi manusia.

Privatisasi, sebagaimana dituliskan Stephen Green di sub bab terdahulu, mempunyai beberapa tujuan utama, yaitu meningkatkan efisiensi perusahaan, meminimalisir pelaksanaan korupsi dalam tata kelola perusahaan, mengembalikan aset-aset negara yang disalahgunakan oleh oknum pejabat negara ketika mengelola aset tersebut, dan yang paling penting adalah memperbaiki layanan publik. Pada kenyataannya, setelah dilakukan privatisasi air oleh PAM Thames Jaya dan PAM Lyonnaise Jaya, pelayanan air tidak meningkat secara signifikan, hanya daerah-daerah di pusat kota seperti Menteng dan Pondok Indah yang meningkat pelayanannya secara signifikan. Kenyataannya, tarif air di Jakarta justru mengalami kenaikan. Lebih lanjut, PAM Jaya masih meminta diberikannya subsidi dari pemerintah terkait dengan perbaikan infrastruktur. Hal ini tentunya sangat aneh dan absurd secara teoritis, di mana privatisasi seharusnya dapat menekan harga lebih murah dan merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab negara ke swasta, namun pada kenyataannya dalam privatisasi air di Jakarta, pemerintah masih melakukan subsidi dan tarif air naik. Menurut laporan WALHI, dari sisi pelayanan, pasca privatisasi tahap kedua kepada kedua mitra asing, tidak mengalami perbaikan dan peningkatan yang berarti.  Ini terlihat dari sejumlah indikator utama kualitas pelayanan air minum. Target pertambahan pelanggan dari tahun 1998-2000 tidak mencapai ketentuan kontrak, dan lebih rendah dibanding pertumbuhan sebelumnya oleh PAM Jaya. Target teknis pemakaian air tidak tercapai, tetap dibawah kinerja PAM Jaya yang telah diprivatisasi.

Tingkat kebocoran pipa juga tidak sesuai dengan klausul dalam kontrak dan harapan masyarakat. Tingkat kebocoran pada saat dikelola PAM Jaya sebesar 53%, kini berkisar pada angka 48%.  Namun, untuk menekan tingkat kebocoran (non revenue water), kedua mitra asing hanya melakukan pembatasan pengoperasian mesin pompa yang terdapat di setiap instalasi. Dampaknya, sejumlah daerah dalam jangkauan pelayanannya malah mengalami kekurangan air. [19]

Sementara dari sisi kualitas air relatif tidak berubah sebelum dan sesudah privatisasi. Bahkan untuk beberapa indikator seperti konsentrasi deterjen, setelah privatisasi, kualitas airnya justru menurun. Pada 1998 misalnya, konsentrasi deterjen mencapai 0,12 mg/l. Demikian juga pada 1999 dengan konsentrasi deterjen sebesar 0,17 mg/l. Padahal standar konsentrasi deterjen adalah 0,05 mg/l. Bandingkan dengan sebelum privatisasi, konsentrasi deterjen masih memenuhi standar seperti pada 1993 (0,031 mg/l) dan 1994 (0,016 mg/l).[20]

Tarif air di Jakarta rata-rata Rp. 5.000 permeter kubik, termasuk yang paling tinggi di Indonesia. Tarif tinggi karena sejak awal kontrak sudah mahal, yakni Rp. 1.700. Tarif terus mengalami kenaikan karena inflasi, dan kenaikan tarif otomatis terjadi tiap semester (6 bulan). Dari tarif demikian, sebanyak Rp. 4.600 digunakan untuk membayar imbalan kepada operator asing (PAM Suez Lyonnaise dan PAM Thames Jaya). Sisanya untuk bayar utang PDAM kepada pemerintah, defisit, serta badan regulator. Apabila kenaikan tarif air otomatis tidak disetujui pemerintah, maka kedua operator asing akan membebankan selisih Water Charge (imbalan air) dan Tarif Air kepada Pemerintah DKI sebagai utang. Saat ini Pemerintah DKI justru memiliki hutang sekitar Rp. 900 milliar kepada operator asing karena tarif air tidak dinaikkan dalam periode 1998-2001. Sementara mengenai tingkat layanan, menurut pengakuan warga  yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pelanggan dan Masyarakat (FKPM), kualitas air minum setelah privatisasi tetap keruh dan berbau tidak sedap. Selain mengeluh soal kualitas air minum, warga juga mempersoalkan distribusi air bersih yang tidak merata. “Rumah yang berada di pinggir jalan besar bisa mendapat air dengan lancar, sementara rumah di tengah perkampungan airnya sering mati,” kata Ahmad Syarifudin, Ketua Dewan Kelurahan (Dekel) Semper Barat, Jakarta Utara. Distribusi air yang tidak merata akibat kecilnya tekanan air dikeluhkan anggota Lembaga Masyarakat Kota Jakarta Barat, Sukarlan. [21]

Relasi Kuasa Dalam Privatisasi Air

Discourse privatisasi air di Indonesia, sebagaimana penulis ungkapkan di atas, sangat absurd secara teoritis. Terdapat “gap” antara teori privatisasi yang mengatakan bahwa privatisasi meningkatkan efisiensi perusahaan dan meningkatkan profesionalitas perusahaan, dan pelaksanaan di lapangan, bahwa privatisasi air tidak meningkatkan kualitas air berikut pelayanannya. Penjelasan yang ditulis sebelumnya, terlihat bahwa pengetahuan akan privatisasi merupakan bentuk legitimasi Barat dengan kekuatan modalnya untuk terus melanggengkan kekuasaannya. Bentuk arsitektur keuangan global berikut doktrin liberalismenya merupakan awal dari legitimasi Barat. Berakhirnya Perang Dingin, disebutkan oleh Abrahamsen, merupakan sebuah konteks internasional baru yang mendorong hegemoni Barat. Hancurnya kekuatan komunisme sebagai rival ideologi liberalisme telah menggeser sistem internasional menjadi unipolar.

SAP dan berbagai kebijakan IMF sebagai bagian dari arsitektur keuangan global telah mendorong dilakukannya privatisasi. Dalam kasus privatisasi air di Indonesia, Letter of Intent Indonesia-IMF 1998-2003 merupakan instruksi signifikan untuk mengeliminir kontrol negara dalam pembangunan. Salah satu pengejawantahan dari eliminasi kontrol negara adalah privatisasi, khususnya sektor air. Dengan kepemilikan modal yang tidak seimbang, privatisasi di era globalisasi tidak hanya merupakan “swastanisasi”, namun menjadi “asing-isasi”. Selain dalam kasus privatisasi air ini, privatisasi Indosat juga menjadi bukti nyata adanya “asing-isasi” ketika Singapore Telecommunicatons mendominasi kepemilikan saham di Indosat, atau privatisasi Semen Gresik yang terdapat kekuatan perusahaan multinasional Cemex di belakangnya.

Fukuyama (1993) dengan meyakinkan dalam bukunya “The End of History and The Last Man” mengajukan kesimpulan mengenai berakhirnya sejarah yang diikuti dengan kemenangan demokrasi-kapitalisme sebagai bentuk akhir pemerintahan di dunia ini. Tesis yang hampir sama juga diajukan Kenichi Ohmae (1997) dalam “The End of Nation State” yang mengatakan bahwa globalisasi ekonomi adalah sebuah keniscayaan. Tulis Ohmae, globalisasi bukanlah sebuah pilihan bagi negara-negara di dunia, melainkan sebuah keniscayaan. Pemikiran neoliberalisme yang menjadi buzzword bagi globalisasi ekonomi telah dilegitimasi dalam rangkuman pemikiran, salah satunya melalui Washington Consensus. Kemudian, butir-butir dalam Washington Consensus itu muncul secara konkrit dalam Letter of Intent IMF atau kebijakan-kebijakan Bank Dunia.

Di dalam negeri, rezim yang cenderung otoriter melalui berbagai kekuasannya, turut berperan dalam memuluskan langkah privatisasi ini dengan turut menikmati keuntungan dari adanya privatisasi ini. Dalam kasus ini, di awal masuknya Suez dan Thames, Sigit dan Salim Group turut mendapat keuntungan atas masuknya dua perusahaan multinasional tersebut.

Relasi kuasa dan pengetahuan kemudian menjadi sangat nyata. Hubungan antara discourse, power, dan knowledge yang dikemukakan Foucalt terlihat dalam kasus privatisasi air ini. Discourse untuk adanya privatisasi air di Indonesia telah didorong oleh knowledge yang berkembang selama ini melalui Washington Consensus dan pengalaman privatisasi negara lain. Dalam discourse tersebut, terdapat kuasa kepentingan modal yang dicerminkan dari perusahaan multinasional (yang umumnya berasal dari Barat). Kelangsungan privatisasi juga didorong oleh rezim di dalam negeri karena kepentingan-kepentingan ekonomi di dalamnya, sehingga hubungan antara discourse dan power juga terlihat. Adanya kekuasaan yang mendapatkan keuntungan telah membuat discourse untuk dilangsungkannya privatisasi membuat proyek ini terus berlanjut.

Hubungan antara discourse, power, dan knowledge dalam kasus ini membuat sebuah bentuk hubungan bisnis semata dengan sistem “patron-klien”. Padahal, dalam kasus ini, air merupakan komoditas strategis publik yang seharusnya tidak dikelola dengan logika bisnis. Naiknya harga air dalam privatisasi di Indonesia membuat posisi kaum miskin menjadi termarjinalkan. Mereka tidak bisa mengakses air bersih akibat mahalnya harga air. Dengan kondisi yang seperti ini terus menerus, posisi rakyat miskin menjadi makin kritis. Penduduk miskin Jakarta sepertinya mustahil untuk membayar air sebesar Rp.5000,- per kubik jika pendapatan mereka di bawah Rp.10.000,- atau Rp.20.000,- per harinya (standar dari Bank Dunia mengenai kategori extreme poverty dan poverty).

Kualitas air buruk, terjadinya kebocoran air, serta naiknya harga air yang masih disubsidi pemerintah membuat privatisasi air perlu ditinjau kembali. Dengan ini, pertanyaan “Untuk siapa wacana itu bekerja?” menjadi sangat tepat untuk direnungkan. Namun demikian, tidak semua bentuk privatisasi gagal dari berbagai indikator. Privatisasi air di Brazil, misalnya, dapat dikatakan berhasil dalam fungsi penyediaan air serta masalah harga air. Privatisasi tersebut berhasil dengan pengawasan lembaga swadaya masyarakat atau non-governmental organization yang memantau proses privatisasi air oleh perusahaan multinasional. Privatisasi Indosat yang menuai banyak kontroversi, sebaliknya sangat berhasil dalam menurunkan harga atau tarif kepada publik. Dampak yang dirasakan konsumen telepon seluler adalah turunnya tarif komunikasi dan membuat pasar telepon seluler menjadi lebih kompetitif.

Dengan segala konteks global; globalisasi yang membuat terhapusnya batas-batas negara termasuk batas perputaran uang, dan pemikiran neoliberal yang mengarus utama, privatisasi air di Indonesia yang melibatkan perusahaan multinasional dimungkinkan terjadi. Wacana privatisasi bukanlah sebuah wacana yang bebas nilai, dengan melihat bagaimana pengetahuan-pengetahuan dalam studi pembangunan dibentuk oleh lembaga keuangan global. Dengan melihat kekuatan yang ada di belakang privatisasi air di Indonesia ini dan menonjolnya aspek kuasa ini, dapat kita pahami mengapa pada akhirnya privatisasi gagal dalam menjawab permasalahan penyediaan air bersih di Indonesia, terutama akses air untuk penduduk miskin.

Penutup

Dunia mencoba menawarkan solusi atas permasalahan program-program IMF yang cenderung “one size fits for all”. Salah satu karya yang menarik perhatian publik adalah buku Joseph Stiglitz “Globalization and Its Discontents” yang menawarkan solusi yang disebut Post-Washington Consensus. Stiglitz mencoba merumuskan perlunya modal sosial guna mengentaskan masalah kemiskinan dan mencoba menekankan pada aktivitas non-ekonomi yang tidak hanya menekankan pada permasalahan perekonomian.[22] Namun, pemikiran Post-Washington Consensus ini juga bukan solusi sempurna. Banyak kritik dialamatkan terhadap penganut Post-Washington Consensus seperti Stiglitz, Jeffey Sachs, atau Kanishka Jayasuriya. Dari sini, banyak analisis yang berkembang, dan muncul dialektika-dialektika tersendiri dalam ranah studi pembangunan, ekonomi, maupun hubungan internasional.

Namun dalam rangka memahami wajah peradaban Barat melalui pemikiran-pemikiran kontemporer – terutama pemikiran yang berakar dari tulisan Adam Smith, sebuah kritik muncul berkenaan dengan relasi antara kuasa dan pengetahuan. Pemikiran yang selama ini banyak ditularkan oleh pemikir-pemikir Barat kemudian dapat membentuk sebuah hegemoni, terutama melalui segitiga : ide, kapabilitas material, serta institusi. Merujuk pada pemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni, sebuah hegemoni dapat dilawan dengan adanya organic intellectual. Artinya, posisi kaum intelektual sangat strategis dalam mengkonstruksi pemikiran serta menularkan pemikiran-pemikirannya dalam level yang lebih luas. Hegemoni Barat yang telah dibentuk melalui ide-ide neoliberalnya, institusi keuangan global, serta kekuatan ekonomi yang besar, salah satunya melalui perusahaan multinasional bukan tidak mungkin suatu saat akan bergeser. Kemudian ketika hegemoni itu bergeser, relasi kuasa dan pengetahuan pun akan bergeser kepada “penguasa” baru dunia; untuk kembali melanggengkan dan mereproduksi kekuasaannya.


[1] Anna K. Dickson, Development and International Relations: A Critical Introduction, (Cambridge: Polity Press, 1997), hlm. 3.

[2] Herman Sojavo, “Water Privatization Fiascos: Broken Promises and Social Turmoil,” dalam http://www.citizen.org/documents/privatizationfiascos.pdf, diakses pada tanggal 11 November 2008 pukul 21.17 WIB.

[3] Rita Abrahamsen, Disciplining Democracy: Good Government and Development Discourse in Africa. (New York: Zed Books, 1999), hlm. 1.

[4] I. Wibowo dan Francis Wahono (eds.), Neoliberalisme, (Yogyakarta: Cindelaras, 2003), hlm. 275.

[5] Bonnie Setiawan, Menggugat Globalisasi, (Jakarta: INFID, 2000), hlm 8-9.

[6] Yujiro Hayami, “From Washington Consensus to Post Washington Consensus: Retrispect and Prospect”, dalam Asian Development Review, Vol. 20, No. 2, Tahun 2003, hlm. 55.

[7] Ibid.

[8] John Wiliamson, “What Should the World Bank Think about the Washington Consensus?”, dalam http://216.239.57.104/search?q=cache:NUokfgXfzzgJ:www.worldbank.org/research/journals/wbro/obsaug00/pdf/(6)Williamson.pdf+World+Bank+from+Washington+consensus+to+post+Washington&hl=en&ie=UTF-8 , diakses 21 September 2008, pukul 18.00 WIB.

[9] Stephen Green, “Privatization in The Former Soviet Bloc: Any Lesson for China?”, The Royal Institute of International Affairs Asia Program Working Paper, No. 10, November 2003.

[10] Setyanto P. Santosa, “Quo Vadis Privatisasi BUMN?” dalam http://www.pacific.net.id/pakar/setyanto/tulisan_02.html, diakses pada tanggal 15 Juni 2008 pukul 10.50 WIB.

[11] Bonnie Setiawan, “The IMF Burden: The IMF has enriched corrupt official while burdening ordinary Indonesian with debts,” dalam http://www.elsam.or.id/txt/asasi/2002_0506/11.html, diakses pada tanggal 20 November 2008 pukul 20.56 WIB.

[12] Herman Sajavo, Loc.Cit.

[13] “Water and Politics in the Fall of Soeharto”, dalam http://www.citizen.org/cmep/Water/cmep_Water/fiascos/articles.cfm?ID=9213 diakses pada tanggal 11 November 2008 pukul 21. 04 WIB.

[14] “Water and Politics in the Fall of Soeharto”, Loc.Cit.

[15] “Water and Politics in the Fall of Soeharto”, Loc.Cit

[16] Herman Sajavo, Loc.Cit.

[17] “Water and Politics in the Fall of Soeharto”, Loc.Cit.

[18] Indra Wahyudi, “Privatisasi Air Kabinet Yudhoyono,” dalam http://wong-mbatu.com/utama/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid=9 diakses pada tanggal 11 November 2008 pukul 21.35 WIB.

[19] “Pelayanan Air Minum Jakarta dan Pencemaran Air,” dalam http://www.walhi.or.id/kampanye/air/privatisasi/051128_air_li/ diakses pada tanggal 11 November 2008 pukul 21.46 WIB.

[20] Ibid.

[21] Ibid.

[22] Baca Joseph Stiglitz, Globalisation and It’s Discontents, (New York: W.W. Norton & Company, Inc.), 2002.

Leave a comment »